Tuesday, November 4, 2008

It's not Differentiation anymore, It's Coding!

DIFERENSIASI. Inilah elemen pertama dari Taktik pemasaran dalam era Legacy Marketing. Diferensiasi ini merupakan core tactic dari sebuah perusahaan, karena lewat diferensiasi inilah pelanggan bisa benar-benar melihat perbedaan antara merek kita dengan pesaing, dan kemudian memilih merek kita.

Diferensiasi ini merupakan upaya menciptakan perbedaan-perbedaan yang signifikan pada sebuah merek. Diferensiasi mendukung positioning yang telah ditetapkan sebelumnya. Positioning yang telah kita ‘tancapkan’ ke dalam benak pelanggan sesungguhnya adalah janji yang kita berikan. Janji tersebut haruslah ditepati dengan dukungan diferensiasi.
Jadi, merek bukan hanya harus dipersepsikan secara berbeda oleh pelanggan. Kalau baru begini namanya positioning, sifatnya masih abstrak. Diferensiasi sifatnya lebih konkret. Sebuah merek harus benar-benar berbeda dalam hal konten (apa yang ditawarkan), konteks (bagaimana cara menawarkannya), dan infrastruktur (enabler) yang digunakan untuk menciptakan konten dan konteks tersebut.

Biar lebih paham, saya beri contoh sebagai berikut. Kalau Anda makan di sebuah restoran, maka diferensiasi dari sisi konten ini adalah rasa masakan di restoran itu sendiri. Kalau rasanya benar-benar enak dan tidak ada di tempat lain, berarti diferensiasinya dari sisi konten sangat kuat. Sementara itu, kalau Anda makan di restoran Jepang, biasanya Anda perlu memasak atau memanaskan sendiri masakan tersebut di meja Anda. Inilah diferensiasi dari sisi konteks.
Nah, kalau restoran tersebut karyawannya ramah dan cekatan; Anda bisa memesan secara elektronik, tidak lagi ditulis di kertas; serta tempatnya nyaman dan lokasinya strategis, inilah yang disebut diferensiasi dari sisi infrastruktur yang mencakup karyawan, teknologi, dan fasilitas.

Jadi, jika positioning tidak didukung oleh diferensiasi, bisa terjadi overpromise underdeliver. Hal ini dapat merusak merek dan reputasi perusahaan yang bersangkutan. Di lain pihak, jika positioning didukung oleh diferensiasi, perusahaan akan membangun integritas merek yang kuat. Hal ini berarti, brand image dalam benak pelanggan adalah serupa dengan brand identity yang dikomunikasikan oleh perusahaan.
Diferensiasi inilah yang sebenarnya harus dijual oleh salesman, bukan product knowledge-nya. Saya amati seringkali salesman itu tidak mengenal perbedaan atau diferensiasi antara mereknya dengan merek pesaing. Ini terjadi karena salesman tidak memiliki competitor knowledge dan hanya terpaku kepada product knowledge dan company knowledge. Padahal, competitor knowledge penting dipahami karena kita memang tidak bisa unggul di semua area. Dengan memahami diferensiasi, kita akan mampu mencari celah yang bisa menunjukkan keunggulan kita dibanding kompetitor.

Jadi kalau di Strategi kita musti punya customer knowledge, di Taktik kita harus punya competitor knowledge. Namun, dalam era New Wave Marketing, yang harus dilakukan bukanlah membangun diferensiasi, tapi Coding.
Mengapa demikian? Hal ini karena pesaing di lanskap New Wave ini semakin tidak terbatas. Perusahaan jadi semakin sulit untuk membangun positioning dan diferensiasi yang benar-benar unggul, yang sulit ditiru oleh pesaing dan sekaligus juga selalu diingat pelanggan. Karena itu, perusahaan harus dapat memasukkan diferensiasi tadi ke dalam “DNA” mereknya maupun pelanggannya.

Misalnya saja yang dilakukan oleh perusahaan yang namanya DNA 11. Perusahaan ini mampu membuat lukisan yang sangat personal bagi tiap pelanggannya karena materi dasarnya memang berasal dari DNA, sidik jari, atau bibir si pelanggan itu.
Lantas, bagaimana cara DNA 11 ini memperoleh informasi genetik pelanggan tersebut? Ternyata gampang saja. Calon pelanggan cukup masuk ke situsnya, www.dna11.com, lalu memilih ukuran dan warna lukisan yang diinginkan. Pelanggan lalu akan dikirimi seperangkat kit untuk mendapatkan informasi genetik, sesuai dengan jenis lukisan yang diinginkan.
Kalau yang diinginkan adalah lukisan DNA, maka pelanggan akan mendapatkan semacam kapas untuk dioleskan air liur pelanggan itu, dan lalu dikirim balik ke DNA 11 untuk diolah. Kalau yang diinginkan adalah lukisan bibir, maka pelanggan akan mendapatkan lembaran dan tinta khusus untuk dicap dengan bibirnya, lalu dikirim balik.

Nah, inilah contoh Coding. Perusahaan harus benar-benar bisa mengidentifikasi perbedaan yang ada sampai ke “tingkat DNA”, bukan hanya di permukaan saja. Perusahaan juga harus mampu lebih terkoneksi dengan pelanggan sehingga mampu membuat produk yang benar-benar sangat personal bagi pelanggan sehingga tidak ada satu pun produk lainnya yang menyerupai produk tersebut.
-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --Hermawan Kartajaya

KFC's Secret Recipe: Guarding the DNA

ADA berita ringan dari KFC yang cukup mencuri perhatian saya awal September lalu. KFC saat itu sedang merencanakan untuk memperbaharui sistem pengamanan di lokasi penyimpanan aset paling berharganya: resep asli dari Kolonel Harland Sanders. Karena itu, resep asli yang disimpan di situ untuk sementara dipindahkan ke tempat lain agar tetap terjaga keamanannya.
Inilah untuk pertama kalinya—setelah beberapa dasawarsa—resep yang langsung ditulis tangan oleh Kolonel Sanders itu dikeluarkan dari ruang penyimpanannya di kantor pusat KFC. Relokasi sementara ini dilakukan agar karyawan perusahaan sistem pengamanan yang ditugaskan KFC bisa lebih leluasa bekerja tanpa harus mengusik rahasia terpenting KFC tersebut.
Resep ini sendiri ditulis pada sehelai kertas yang warnanya sudah kekuningan karena dimakan usia. Di dalamnya terdapat 11 jenis tanaman dan rempah-rempah, termasuk takaran bahan yang harus diracik. Resep ini ditulis dengan menggunakan pensil dan ditandatangani oleh Sanders.
Selain resep itu, di dalam ruang penyimpanan juga terdapat sejumput contoh tanaman dan rempah-rempah yang disimpan dalam botol kecil dengan bau yang sangat khas.
Sanders mulai mengembangkan resep ini pada tahun 1940 di restoran kecilnya di bagian Tenggara Kentucky. Ia kemudian menggunakannya sebagai resep standar yang harus digunakan pada setiap restoran ketika mulai meluncurkan jaringan KFC pada awal 1950-an.
Saking pentingnya rahasia yang sudah berumur 68 tahun ini, tidak setiap orang di KFC bisa mendapatkan akses ke ruang penyimpanan tadi. Dalam satu waktu, hanya ada dua orang saja yang punya akses ke tempat itu. Nama dan jabatan kedua orang ini juga hanya diketahui oleh segelintir orang.
Selain itu, untuk menjaga kerahasiaan dari sisi pemasok, KFC menggunakan banyak pemasok untuk mensuplai materi ramuan resep itu. Namun, masing-masing pemasok tersebut hanya mengetahui sebagian saja dari keseluruhan isi ramuan.
Banyak orang yang telah mencoba meniru resep rahasia dari Kolonel Sanders yang meninggal pada tahun 1980 ini. Kadang-kadang malah ada yang mengklaim telah menemukan salinannya. Namun KFC selalu mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang mendekati resep aslinya.
Resep ini memang merupakan “nyawa” dari KFC. Resep ini merupakan “DNA” dari KFC.
Resep rahasia Kolonel Sanders inilah yang membuat KFC mampu membedakan dirinya dari jaringan restoran lainnya yang sama-sama menyajikan menu utama dari ayam. Ini mirip dengan ramuan Merchandise 7X dari Coca-Cola. Rasa dan sensasi menikmati ayam goreng KFC dan minuman Coke akan terasa berbeda dibanding dengan kepunyaan pesaing karena adanya “DNA” ini.
Inilah yang sebenarnya dicari pelanggan. Pelanggan menginginkan adanya otentisitas dari produk atau layanan kita, di mana saja dan kapan saja mereka mengonsumsinya. Jika pelanggan mempersepsi offering kita sebagai tiruan atau palsu, maka kita akan kehilangan kredibilitas, pelanggan, dan pada akhirnya penjualan (sales).
Jadi, otentisitas menjadi salah satu kata kunci dalam era New Wave Marketing.
Otentisitas ini sendiri ada bermacam-macam jenisnya. Dalam bukunya Authenticity yang diterbitkan Harvard Business School Press, James Gilmore dan Joseph Pine mengemukakan bahwa ada lima jenis authenticity.
Pertama adalah natural authenticity. Ini mengacu kepada segala hal yang ada di permukaan bumi atau di dalam bumi yang sifatnya tidak sintetik atau artifisial, misalnya adalah organic food.
Kedua adalah original authenticity. Ini mengacu kepada segala hal yang memiliki orisinalitas dari segi desain. Misalnya adalah iPod dan iPhone dari Apple.
Selanjutnya adalah exceptional authenticity, yaitu segala sesuatu yang disampaikan secara langsung kepada Anda oleh orang lain, yang menunjukkan tingkat kepedulian yang sangat tinggi. Di sini contohnya adalah layanan legendaris ala Singapore Girls.
Lalu, referential authenticity adalah segala sesuatu yang mengacu kepada hal lain yang otentik. Misalnya adalah video games berjudul ”Call of Duty 2” yang mengacu kepada Perang Dunia II.
Dan yang terakhir adalah influential authenticity, yaitu segala sesuatu yang berpengaruh terhadap entitas lain, menginspirasi kita untuk mencapai tujuan lebih tinggi, atau memberikan harapan untuk sesuatu yang lebih baik. Ini misalnya saja penggunaan frasa-frasa seperti “conflict-free diamond” pada produk-produk intan atau “recycled paper” pada produk-produk berbahan kertas.
Memang, New Wave Marketing membuka peluang yang tidak terbatas bagi setiap orang. Pesaing bisa bermunculan kapan saja dengan keunggulan-keunggulan yang mirip dengan yang kita miliki. Tinggal sekarang bagaimana kita bisa mempertahankan “DNA” kita dan membangun orisinalitas agar tidak mudah ditiru oleh para pesaing ini.

-- Ringkasan tulisan ini bisa dibaca di Harian Kompas --Hermawan Kartajaya